Minggu, 03 Agustus 2008 | |
Dari tujuh pementasan yang disutradarai Tatang R. Macan, saya menyaksikan tiga pertunjukan. Topeng Waska (monolog), Sirkus Topeng Waska dan terakhir Dalam Penjara (adaptasi Hello Out There). Ketiga pementasan itu berisi raungan, pekikan, serta kaya kosa tubuh dalam setiap pementasannya. Nampaknya, ini pula yang menjadi benang merah pertunjukan Kang Tatang. Pada buku program (berbentuk gabungan poster dan booklet), diterangkan tentang sang sutradara. Ia pernah “hinggap” di Teater Payung Hitam (TPH) pimpinan Rahman Sabur dan Studi Teater Bandung (STB) yang dipimpin Suyatna Anirun. Dau grup berbeda aliran. Tubuh sebagai alat ucap nomor satu bisa ditemukan pada TPH. Sedangkan kata menjadi menu utama STB. Tatang tidak memilih salah satu. Ia menggabungkan keduanya. Setidaknya “berniat” menggabungkannya. Ini terlihat sampai pada pementasan Dalam Penjara di Taman Budaya Sumatra Barat pada 27 Juli 2008 lalu. Keliatan tubuh dengan “gunungan” kalimat silang-menyilang pada hampir satu setengah jam pada karya William Sarojan ini. Lima menit awal kita dihajar oleh tontonan olah tubuh. Pemuda (Hasan) menggeliat dari penjara (mirip gawang kecil tanpa jaring di kiri-kanan. Dengan posisi membelakangi penonton secara diagonal) “diceritakan” dengan renik. Bagi yang tidak membaca naskahnya akan kecele. Pembukaan terlalu panjang bagi tontonan yang kemudian didominasi kata. Musik rock menghentak dengan beberapa preman muncul sambil mengadu batu (rock?) di awal pementasan, membuat tontonan terasa lebih cepat mendaki puncak. Selesai itu teks tubuh diperagakan oleh aktor lelaki. Begitu sampai di luar, ia memanggil-manggil ke arah sekeliling. Ia merasa ada orang lain. Kalimat “Siapa itu?”memantul-mantul di panggung untuk beberapa saat. Begitu tokoh Wanita (Fitta) memasuki panggung, suasana turun drastis. Bukan karena aktornya tidak bagus. Tapi, memang itulah mau sutradara. Sekarang, letupan kata yang meraja. Tokoh utama bersikeras memanggil si perempuan Nurani. Meskipun namanya Hayat (i). Si Lelaki ingin mengajak Nurani melarikan diri. Rupanya Hayati/Nurani merupakan istri kepala preman yang masuk di awal pertunjukkan. Bagian akhir bagaimana dilihatkan secara brutal penyelesaian masalah ala berandal. Suami Hayati/Nurani (Masvi “Singo”) dan Gengnya (Jufri, Husin, Andi dan Akbaruddin) memasuki pentas dengan cambuk besi. Mereka meraung, berteriak memukul Pemuda dengan “sadis”. Di luar dan dalam kurungan. Beberapa mata besi yang berbentuk rantai itu lepas menghampiri penonton. Untung, tidak ada yang luka. Pada diskusi yang dilakukan usai pementasan, Tatang mengatakan ia habis-habisan mengadaptasi naskah ini. William seorang tentara Perang Dunia II. Yang dibicarakan dalam naskah asli adalah moral dan suasana setelah perang. Inilah yang diubah Tatang menjadi moral dan suasana sekarang. Di lihat dari lokasi, ada kata Surabaya, Jakarta dan Singapura. Kemudian masuknya musik rockestrasi ala Katarsis yang mengiringi sepanjang pementasan. Gaya preman di awal dan akhir cerita yang tidak mungkin kita temukan pada pasca PD II, menjadi tanda-tanda adaptasi yang dimaksud. Menurut saya, ini pementasan baik dibanding dua pementasan sebelumnya. Terlepas dari pementasan ini hanya bagian dari hasil ujian mahasiswa (dalam booklet/poster dikatakan ini merupakan kerjasama dengan Jurusan Teater STSI Padangpanjang), tawaran keseimbangan tubuh dan kata dari Tatang mesti menjadi perhitungan. Pada pementasan ini, naskahnya kurang cocok. Sehingga pembagian antara kata dan tubuh tidak rapi. Tidak mengajak penonton untuk ikut terbawa dua arus (kata dan tubuh) secara maksimal. Proporsional, tinggal itu PR yang mesti dilakukan lulisan STSI Bandung ini. Pembagian seimbang antara naskah dengan kosa gerak, keseimbangan properti (bambu tidak berfungsi selain hanya menjadi penjara), belumlah terlihat dengan utuh. Jika itu kita saksikan pada pementasan selanjutnya, maka Tatang sudah menemukan gennya dalam mendefinisikan teater. S Metron M |
Jumat, 06 Februari 2009
(Mencoba) Menggabungkan Dua Arus
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar